Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini dalam
masyarakat Aceh lebih dikenal dengan Abu Ibrahim Karamah (Keramat). Belum
pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh Barat) bila seseorang meninggal
ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali pada waktu wafatnya Abu Ibrahim
Woyla. Selama hampir 30 hari meninggalnya Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh
berduyun-duyun datang melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh
Barat sebagai tempat peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla.
Selama 30 hari itu ribuan orang setiap hari tak kunjung henti
datang menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Abu Ibrahim Woyla,
sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak air aqua gelas dan tiga ekor
lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk
menjamu tamu yang datang silih berganti ke tempat wafatnya Abu Ibrahim Woyla.
Begitulah pengaruh ke-ulama-an Abu Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat
Aceh, terutama di wilayah Pantai barat selatan Aceh.
Abu Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Ustadz/Kiyai)
Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh,
Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M. Menurut riwayat,
pendidikan formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat
(SR), selebihnya menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional)
selama hampir 25 tahun. Sehingga dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla
pernah belajar 12 tahun pada Syeikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh
Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Kecamatan Blang Pidie,
Aceh Barat Daya. Di antara murid Syeikh Mahmud ini selain Abu Ibrahim Woyla
juga Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy yang kemudian Abu Ibrahim Wayla berguru
padanya, Abuya Muda Waly adalah sebagai seorang ulama tareqat naqsyabandiyah
tersohor di Aceh.
Menurut keterangan, Syeikh Muda Waly hanya sempat belajar pada
Syeikh Mahmud sekitar 3 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada
Abu Haji Hasan Krueng Kale dan Abu Hasballah Indrapuri. setelah itu Syeikh Muda
Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syeikh Jamil Jaho di Padang Panjang.
beberapa tahun di Padang Syeikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah,
kemudian Syeikh Muda Waly kembali kepadang dan pulang ke Aceh Selatan untuk
mendirikan Pesantren Tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan.
Saat itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syeikh Muda
Waly telah kembali dari Mekkah dan mendirikan Dayah, maka Abu Ibrahim Woyla
kembali belajar pada Syeikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu tareqat
naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu
Calang (Syeikh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilal yatim (Suak) bersama rekan
seangkatannya yaitu (alm) Abu Adnan Bakongan.
Setelah lebih kurang 3 tahun memperdalam ilmu tareqat pada Syeikh
Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya, tapi tak lama
setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana keluarga sendiri
tidak mengetahui kemana Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara. Menurut riwayat
dari Teungku Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla) semasa hidupnya Abu Ibrahim
Woyla pernah menghilang dari keluarga selama tiga kali, Pertama, Abu Ibrahim
Woyla menghilangkan diri selama 2 bulan, Kedua, Abu Ibrahim Woyla menghilang
selama 2 tahun dan Ketiga, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 4 tahun
yang tidak diketahui kemana perginya.
Dalam kali terakhir
inilah Abu Ibrahim Woyla kembali pada keluarganya di Pasi Aceh, pihak keluarga
tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada Abu Ibrahim Woyla. Rambut
dan jenggotnya sudah demikian panjang tak ter-urus, pakaiannya sudah compang
camping dan kukunya panjang seadanya. mungkin bisa kita bayangkan seseorang
yang menghilang selama 4 tahun dan tak sempat untuk mengurus dirinya.
Begitulah kondisi Abu Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang, maka wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.
Begitulah kondisi Abu Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang, maka wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.
Abu Ibrahim Woyla oleh
banyak orang dikenal sebagai ulama agak pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya
sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang
perlu untuk disampaikan sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya
terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila dikerjakan Abu Ibrahim Woyla.
Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh
keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian,
keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh Abu
Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi
begitulah orang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla.
Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang isteri, isteri pertama
bernama Rukiah, dari hasil pernikahan ini Abu Ibrahim Woyla dikaruniai 3 orang
anak, seorang laki-laki dan 2 perempuan. yang laki-laki bernama Zulkifli dan
yang perempuan bernama Salmiah dan Hayatun Nufus. Sementara pada isteri
keduanya yang beliau nikahi di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum beliau
meninggal tidak dikaruniai anak.
Menurut cerita tatkala isteri pertamanya hamil 6 bulan untuk anak
pertama yang dikandung Ummi Rukian, kondisi Abu Ibrahim Woyla saat itu seperti
tidak stabil, sehingga beliau mengatakan pada isterinya “Saya mau belah perut
kamu untuk melihat anak kita”, kata Abu Ibrahim Woyla pada isterinya yang pada
saat itu membuat keluarganya tak habis pikir terhadap apa yang diucapkan Abu
Ibrahim Woyla pada isterinya itu. Karena perkataan seperti itu dianggap
perkataan yang sudah diluar akal sehat, maka keluarga dengan cemas menggatakan
kita tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abu Ibrahim Woyla yang meminta untuk
membelah perut isterinya yang sedang mengandung 6 bulan. Meskipun begitu,
perkataan yang pernah diucapkan itu tak pernah dilakukannya.
Pada tahun 1954 sebenarnya tahun yang sangat membahagiakan bagi
pasangan suami-isteri karena pada tahun itu lahir anak pertama dari pasangan
Abu Ibrahim Woyla dan Ummi Rukiah, akan tetapi kehadiran seorang pertama itu
bagi Abu Ibrahim Woyla bukanlah sesuatu yang istimewa. Abu Ibrahim Woyla saat
itu hanya pulang sebentar menjenguk anaknya yang baru lahir, kemudian beliau
pergi kembali mengembara entah kemana. Ketika anak pertamanya yang diberi nama
Salmiah sudah besar, menurut cerita Teungku Nasruddin barulah kondisi Abu
Ibrahim Woyla kembali normal hidup bersama keluarganya. Dan saat itu Abu
Ibrahim Woyla sempat membuka lahan perkebunan di Suwak Trieng untuk menjadi
harta yang ditinggalkan untuk keluarganya di kemudian hari.
Pada saat itu kehidupan Abu Ibrahim Woyla bersama keluarganya
sudah sangat harmonis hingga lahir anak kedua, Hayatun Nufus dan anaknya yang
ketiga Zulkifli. Semua keluarganya sangat bersyukur karena Abu Ibrahim Woyla
telah tinggal bersama keluarganya. Namun apa mau dikata, tak lama setelah lahir
anaknya yang ketiga Abu Ibrahim Woyla kembali meninggalkan keluarganya dan
entah kemana. Sehingga Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan ketidakpedulian Abu
Ibrahim Woyla terhadap nafkah keluarganya, isterinya minta untuk pulang ke
Blang Pidie daerah asalnya.
Alasan isterinya untuk pulang ke Blang Pidie memang tepat, karena
menurutnya Abu Ibrahim Woyla tidak lagi peduli kepada keluarga, beliau hanya
asyik berzikit sendiri dan pergi kemana beliau suka. akan tetapi, keinginan
Ummii Rukian untuk kembali ke Blang Pidie tidak terwujud karena Allah mempersatukan
Abu Ibrahim Woyla dan isterinya sampai akhir hayatnya.
Kisah Keajaiban dan Aneh
Kisah Keajaiban dan Aneh
Bila kita dengar kisah dan cerita tentang Abu Ibrahim Woyla semasa
hidupnya tak ubah seperti kita membaca kisah para sufi dan ahli tashawwuf.
Banyak sekali tindakan yang dikerjakan Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya yang
terkadang tidak dapat diterima secara rasional, karena kejadian yang
diperankannya termasuk di luar jangkauan akal pikiran manusia. Untuk mengenal
prilaku Abu Ibrahim Woyla haruslah menggunakan pikiran alam lain sehingga
menemukan jawaban apa yang dilakukan Abu Ibrahim Woyla itu benar adanya.
Itulah keajaiban-keajaiban yang melekat pada sosok Abu Ibrahim Woyla, yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkat Waliyullah (Wali Allah). hal itu diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat yang diterima keluarga menceritakan seputar keajaiban kehidupan Abu Ibrahim Woyla.
Hal ini terbukti semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi tempat-tempat dimana umat selalu dalam kesusahan, kegelisahan dan musibah beliau selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu. Namun orang sulit memahami maksud dan tujuan Abu Ibrahim Woyla untuk apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti itu, karena kedatangannya tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi masyarakat yang didatanginya. Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di tempat-tempat yang ia datangi, tutur Teungku Nasruddin.
Dalam hal ini Ustadz (Teungku disingkat Tgk) Muhammad Kurdi Syam
(seorang warga Kayee Unoe, Calang yang sangat mengenal Abu Ibrahim Woyla
menceritakan bahwa Abu Ibrahim Woyla kebetulan sedang berjalan kaki, beliau
terkadang masuk ke sebuah rumah tertentu milik masyarakat yang dilawatinya, ia
mengelilingi rumah tersebut sampai beberapa kali kemudian berhenti pas di
halaman rumah itu dan menghadapkan dirinya ke arah rumah tersebut dengan
berzikir LA ILAHA ILLALLAH yang tak berhenti keluar dari
mulutnya, setelah itu Abu Ibrahim Woyla pergi meninggalkan rumah itu.
Tidak ada yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah agar penghuni rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau mendoakan penghuni rumah itu agar dirahmati Allah? Wallahu A’lam.
Tidak ada yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah agar penghuni rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau mendoakan penghuni rumah itu agar dirahmati Allah? Wallahu A’lam.
Menurut Tgk Nasruddin , dilihat dari kehidupannya, Abu Ibrahim
Woyla sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi, ia
mencontohkan, kalau misalnya Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang tersebut
bisa habis dalam sekejap mata dibagikan kepada orang yang membutuhkan dan
biasanya Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada anak-anak dalam jumlah
yang tidak diperhitungkan (sama seperti amalan Rasulullah). Begitulah kehidupan
Abu Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-hari.
Keajaiban lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan
bertanya-tanya adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang
ternyata lebih cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Abu Ibrahim
Woyla kalau pergi kemana-mana selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sendal.
Bagi orang yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu Ibrahim Woyla
sosok yang tidak normal. Karena disamping penampilannya yang tidak rapi,
mulutnya terus komat kamit mengucapkan zikir sambil berjalan.
Tgk Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 sampai 2 jam dengan kendaraan bermotor), yang anehnya Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya, kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.
Tgk Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 sampai 2 jam dengan kendaraan bermotor), yang anehnya Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya, kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.
karena tak heran kalau Abu Ibrahim Woyla berada seperti di pasar,
misalnya semua pedagang di pasar itu berharap agar Abu Ibrahim Woyla dapat
singgah di toko mereka, karena mereka ingin mendapatkan berkah Allah melalui
perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun tidak segampang itu karena Abu Ibrahim
Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat.
Seperti yang diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno, Aceh Jaya. lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang.
Ketika mampir di situ Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air, setelah air itu diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla. karena tidak mau diterima Samsul, lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya, spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja, karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba.
Seperti yang diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno, Aceh Jaya. lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang.
Ketika mampir di situ Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air, setelah air itu diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla. karena tidak mau diterima Samsul, lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya, spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja, karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba.
Dalam kejadian lain, Tgk Nasruddin menceritakan suatu ketika
(sebelum Tgk Nasruddin menjadi menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba shubuh
pagi Abu Ibrahim Woyla datang ke almamaternya ke Pesantren Syeikh Mahmud, kaki
Abu Ibrahim Woyla kelihatan sedikit pincang sebelah kalau beliau berjalan.
Kedatangan Abu Ibrahim Woyla disambut Tgk Nasruddin dan teman-teman sepengajian
lainnya.
Lalu Abu meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi, “nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu” kata Tgk Nasruddin, “Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisi” jawab Abu Ibrahim Woyla, lalu Tgk Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa ia simpan telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi karena sudah habis dimakan.
Lalu Abu meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi, “nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu” kata Tgk Nasruddin, “Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisi” jawab Abu Ibrahim Woyla, lalu Tgk Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa ia simpan telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi karena sudah habis dimakan.
Lantas sambil menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim Woyla, Tgk
Nasruddin bertanya, “Kenapa dengan kaki Abu ?” Abu menjawab “saya baru pulang
dari bukit Qaf (Mekkah), disana banyak sekali tokonya tapi tidak ada
penjualnya. Namun kalau kita ingin membeli sesuatu kita harus membayar di
mesin, kalau tidak kita bayar kita akan ditangkap polisi”, Abu meneruskan
“setelah saya belanja di toko-toko itu lalu saya naik kereta api dan sangat
cepat larinya, karena saya takut duduk dalam kereta api itu , maka saya lompat
dan terjatuh hingga membuat kaki saya sedikit terkilir, makanya saya agak
pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh”.
Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla
sendiri, suatu hari Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta
sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing, lalu tuan rumah itu mengatakan
pada isterinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing untuk Abu
Ibrahim Woyla, tapi isterinya memberi tahu bahwa pohon belimbingnya tidak lagi
berbuah, “baru kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya lagi tidak ada
buahnya” kata sang isteri pada suaminya. Tapi suaminya terus mendesak isterinya
“coba kamu lihat dulu, kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan
Abu” katanya.lalu isterinya pergi ke pohon belakang rumah, ternyata belimbing
itu memang didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore
dilihatnya.
Demikian pula ketika
hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah,
msyarakat di kampung melihat sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak peduli terhadap
acara pernikahan anaknya. Padahal acara pernikahan itu akan berlangsung
beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa untuk
menghadapi acara pernikahan anaknya itu, bahkan uang pun tidak beliau kasih
pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut. Namun ajaibnya pada hari “H”
(hari pernikahan berlangsung) ternyata acara pernikahan anaknya berlangsung
lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang lain yang jauh-jauh hari telah
mempersiapkan segala sesuatunya.
Begitulah sebagian dari perjalanan riwayat hidup seorang ulama dan
aulia Abu Ibrahim Woyla yang sulit dicari penggantinya di Aceh sekarang ini.
Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli
2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat
dalam usia 90 tahun.
Tim Majalah Santri Dayah pernah berziarah ke makan beliau pada pertengahan tahun 2012, melihat makan yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak sekali diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan berpesan pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan tempat pemujaan (yang membawa kepada syirik).
(Dinukil majalah Santri Dayah | santridayah.com)
Tim Majalah Santri Dayah pernah berziarah ke makan beliau pada pertengahan tahun 2012, melihat makan yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak sekali diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan berpesan pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan tempat pemujaan (yang membawa kepada syirik).
(Dinukil majalah Santri Dayah | santridayah.com)
0 komentar: